Print

KHUSYU’ DALAM SHALAT

Written by pak_w. Posted in Berita Terbaru

Khusyu’ merupakan ruh (jiwa) shalat. Shalat akan lebih mempunyai makna dan dapat memberikan pengaruh positif terhadap tingkah laku jika senantiasa dilakukan secara khusyu’. Kekhusyukan dalam shalat, menuntut manusia untuk menghadirkan kebesaran dan keagungan Allah, sekaligus kelemahannya sebagai manusia di hadapan-Nya.

Kekhusyu’an adalah hal pertama yang akan diangkat dari bumi ini, sebagaimana apa yang telah disebutkan oleh Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu:

أَوَّلُ مَاتَفْقِدُوْنَ مِنْ دِيْنِكمُ الخُشُوْع, وَآخِرُ مَاتَفْقِدُوْنَ مِنْ دِيْنِكُم الصَّلاَة, وَرُبَّ مُصَلٍّ لاَ خَيْرَ فِيْهِ, وَيُوشِكُ أَنْ تَدْخُلَ المَسْجِدَ فَلاَ تَرَى فِيْهِمْ خَاشِعًا
“Pertama kali akan hilang dari agamamu adalah khusyu’ dan hal terakhir yang akan hilang dari agamamu adalah shalat. Betapa banyak orang shalat tetapi tiada kebaikan padanya. Hampir saja engkau memasuki masjid sementara tidak mendapatkan di antara mereka orang yang khusyu’.” (Lihat kitab “Madarijus Saalikin”)

Tempat khusyu’ adalah hati, sedangkan buahnya akan tampak pada anggota badan. Anggota-anggota badan hanya mengikuti hati. Jika kekhusyukan rusak akibat kelalaian, kelengahan, serta was-was maka rusaklah ubudiyah anggota badan yang lain. Sebab hati diibaratkan raja. Sedangkan anggota badan lainnya sebagai pasukan dan tentaranya. Kepadanya mereka taat dan darinyalah sumber segala peritah. Jika sang raja dipecat dengan bentuk hilangnya penghambaan hati, maka hilanglah rakyat yaitu anggota-anggota badan lainnya.

Perlu diketahui bahwa khusyu’ itu ada dua, yaitu khusyu’ hati dan khusyu’ anggota badan.

Khusyu’ hati ialah merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla, merasakan keagungan-Nya, memperhatikan makna-makna shalat, merenungkan lafal-lafal yang dibaca atau didengar, merenungkan zikir-zikir yang diucapkan, seperti makna takbir, makna tasbih, makna ucapan tasyahhud dan sebagainya. Makna zikir dan bacaan yang dibaca ini dihadirkan dan direnungkan di dalam hati. Dengan begitu ia merasa sedang berada di hadapan Allah (menghadap Allah) Azza wa Jalla. Sedangkan shalat itu sendiri harus bersih dari permainan dan kesia-siaan.

Shalat yang dilakukan dengan pikiran dipenuhi cita-cita dan urusan keduniaan, begitupun hati sibuk dengan sesuatu selain shalat, maka hal ini tidak diperbolehkan dan tidak layak dilakukan seorang muslim.

Sedangkan kekhusyukan anggota badan merupakan penyempurna kekhusyukan hati sekaligus sebagai lambangnya, sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat :

لَوْ خَشَعَ قَلْبُ هَذَا لَخَشَعَتْ جَوَارِحُهُ
“Seandainya hati orang ini khusyu’ niscaya ikut khusyu’ pula anggota badannya.” (HR. Tirmizi dan al-Hakim. Menurut Albani hadis ini dha’if karena banyak perawinya yang majhul, tidak dikenal. Kitab Silsilah jld I hal 107))

Maksudnya, jika sedang mengerjakan shalat janganlah seseorang berpaling ke kanan dan ke kiri seperti musang, jangan bermain seperti anak kecil, atau jangan banyak bergerak hingga merusak kekhusyukan dan menghilangkan ruh shalat. Sebaliknya ia harus melaksanakannya dengan penuh ketundukan di hadapan Allah Azza wa Jalla.

Friman-Nya:

وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي
“Dan laksanakan (dirikan) lah shalat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha {20} : 14)

Lalai adalah lawan dari kata ingat, jadi siapa yang lalai di dalam shalatnya bagaimana bisa menjadi khusyu’ dan dapat dianggap melaksanakan (mendirikan) shalat?

يَأَيُّهَا الذِيْنَ ءَامَنُوا لاَ تَقْرَبُوْا الصَّلاَةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’ {4} : 43)

Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang orang yang sedang mabuk mendekati shalat, karena orang tersebut tidak mengetahui dan tidak sadar terhadap apa yang diucapkannya. Keadaan ini cocok sekali dengan orang yang lalai yang tenggelam (mabuk) dalam kesibukan pikirannya tentang hal-hal yang diluar shalat, padahal ketika itu mulutnya bergerak membaca bacaan shalat, jasadnya berada di tempat shalat, sedangkan hati dan pikirannya hanyut entah kemana.

وَإِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ إِلاَّ عَلىَ الْخَاشِعِيْنَ
“Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh amat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS Al-Baqarah {2} : 45)

Maksudnya, shalat itu sesungguhnya sangat berat bagi jiwa, kecuali bagi orang yang hatinya khusyu’ dan bersungguh-sungguh untuk mencapai kedekatan posisi kepada Allah, karena menyibukkan diri dalam ibadah shalat berarti berpindah dari dunia yang penuh hiruk pikuk dan kegamangan menuju ke alam yang paling tinggi. Dan tentu saja, hal ini akan menghasilkan sempurnanya kelezatan dan kebahagiaan.

Puncak khusyu’ adalah ketundukan dan kepatuhan seluruh anggota badan, pikiran dan bisikan hati secara keseluruhan menuju ke hadirat Ilahi. Itulah puncaknya, tapi ada peringkat-peringkat di bawah itu. Peringkat terendah adalah sekedar pengamalan yang tulus kepada-Nya walau diselingi oleh pikiran yang melayang kepada hal-hal yang tidak bersifat negatif.

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ تُسْعُهَا ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا رُبْعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا
“Seseorang berpaling (selesai dari shalat), tidak dituliskan baginya melainkan seperse-puluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertu-juh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga atau seperdua dari shalatnya.” (HR. Abu Dawud)

Kelihatan bahwa kualitas dan nilai shalat terkait erat dengan kekhusyukan. Shalat seseorang hanya dituliskan untuknya sekedar yang dapat ia pahamkan dan ia amalkan dari shalatnya itu.

Oleh sebab itu, ada diantara ulama yang memandang bahwa khusyu’ termasuk salah satu syarat sahnya shalat. Pendapat ini umumnya dipegang oleh ulama sufi. Akan tetapi umumnya ulama fiqih memandang khusyu’ itu sunat.

Peragaan (gerakan tubuh) adalah jasadnya shalat, sedangkan khusyu’ adalah ruhnya shalat. Apa artinya jasad tanpa ruh? Bagaimana bisa sampai kepada Allah shalat yang tanpa kekhusyukan? Salah satu cara untuk mencapai kekhusyukan dalam shalat, seseorang harus berupaya memahami lafal-lafal yang di bacanya dalam shalat, menghayatinya. Kemudian merenungkannya dengan kehadiran hati, konsentrasi akal pikiran, dan merendahkan diri kepada Allah dengan sepenuh jiwa.

Rasulullah mengingatkan orang-orang yang tidak khusyu’ dalam shalat dengan sabdanya:

أَوَّلُ شَيْءٍ يُرْفَعُ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ الْخُشُوعُ حَتَّى لَا تَكَادُ تَرَى خَاشِعًا
“Yang pertama kali diangkat dari ummat ini adalah kekhusyukan (dalam shalat) sehingga hampir saja tidak terlihat lagi orang yang khusyu’.” (Imam al-Hatsami berkata dalam kitab al-Majma’ II/137; Hadits ini diriwayatkan Imam ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir sanadnya hasan)

Khusyuk dalam shalat bisa dicapai oleh siapapun yang mampu mengosongkan hatinya hanya untuk-Nya, disibukkan hanya dengan-Nya dan lebih mengutamakan Allah dari selain-Nya. Saat itulah shalat menjadi ruang peristirahatan sekaligus penyejuk matanya. Sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘a’alihi wa sallam :
جُعِلَتْ قُرَّة عَيْنِيْ فيِ الصَّلاَة
“Keteduhan pandanganku berada dalam shalat” (Musnad Imam Ahmad III/128 dan Shahihul Jami’ no: 3123)