TAQWA
Menurut istilah bahasa, lafaz at-taqwa التقوى adalah bentuk isim dari at-tuqa التقى, sedang bentuk masdarnya adalah al-ittiqa ’الإتقاء , diambil dari materi waqa وقى. Berasal dari al-wiqayah الوقاية yang artinya sesuatu yang dijadikan sebagai sarana pelindung oleh manusia untuk menghindarkan diri dari sesuatu yang membahayakan. Dengan demikian, al-wiqayah الوقاية artinya pelindung sesuatu.
Adapun taqwa التقوى menurut terminologi syariat, maka sehubungan dengan definisinya para ulama telah mengungkapkan beberapa pengertian, di antaranya ialah:
- Mengerjakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Orang-orang yang bertaqwa adalah mereka yang mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka, dan mereka sama sekali tidak berani melanggar apa yang telah dilarang oleh Allah terhadap mereka.
- Taqwa adalah bila seorang muslim memberi jarak antara dirinya dan hal-hal yang dikhawatirkan akan menimbulkan kemarahan Rabb-nya, kemurkaan, dan siksa-Nya, sehingga ia terhindar dari hal tersebut, dengan cara mengerjakan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi kedurhakaan terhadap-Nya.
Umar ra. pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab r.a: “Apa taqwa itu?” Ubay balik bertanya: “Wahai Amirul Mukminin, pernahkah engkau menempuh jalan yang banyak onak durinya?” Umar menjawab: “Ya, pernah.” Ubay bertanya: “Lalu apakah yang engkau lakukan?” Umar menjawab: ”Aku angkat betisku seraya memandang ke arah tempat-tempat yang akan diinjak oleh telapak kakiku, lalu aku memajukan salah satu kakiku atau memundurkan yang lainnya karena aku takut bila kakiku tertusuk duri.” Ubay bin Ka’ab pun berkata: “Demikianlah gambaran taqwa, yaitu menyinsingkan lengan baju untuk mengerjakan ketaatan, membedakan mana yang halal dan mana yang haram, bersikap hati-hati agar tidak tergelincir, dan senantiasa merasa takut kepada Tuhan Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.”
- Thalaq bin Habib rahimahullah mengatakan,
أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ تَرْجُوْ ثَوَابَ اللهِ وَ أَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ تَخَافُ عَذَابَ اللهِ
“Takwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah, di atas cahaya dari Allah (yaitu di atas ilmu) dengan harapan untuk mendapatkan pahala dari Allah dan engkau menjauhi maksiat atas cahaya dari Allah (yaitu di atas ilmu) karena takut akan ’adzab Allah. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 211)
Taqwa adalah suatu hal yang besar dan kedudukan yang tinggi. Taqwa adalah landasan agama. Tiada kehidupan tanpa taqwa, bahkan kehidupan tanpa ketaqwaan tidak akan tertahankan, melainkan akan menjadi lebih rendah keadaannya daripada kehidupan hewan. Tiada kebaikan bagi manusia, kecuali dengan ketaqwaan. Taqwa adalah perbendaharaan yang sangat sulit. Akan tetapi jika kita beruntung dapat meraihnya, maka kita akan menjumpai di dalamnya permata yang mulia, kebaikan yang banyak, rezeki yang berlimpah, keberuntungan yang besar, seakan-akan semua kebaikan dunia dan akhirat terhimpun dan menjadi satu berada dalam pekerti yang satu ini, yaitu taqwa.
Jika kita merenungkan sebutan taqwa yang terkandung dalam Al-Qur’an, maka kita menjumpai berapa banyak kebaikan yang berkaitan dengannya, berapa banyak pahala yang dijanjikan bagi pelakunya, dan berapa banyak kebahagiaan yang dihubungkan dengannya.
Taqwa adalah landasan agama. Dengan taqwa, seorang hamba dapat naik ke tingkat keyakinan. Taqwa adalah bekal kalbu dan jiwa manusia, Karena taqwa kalbu dan jiwa manusia beroleh konsumsi dan bekal, dan hanya dengan bersandarkan pada taqwalah seseorang dapat berhubungan dengan Tuhannya dan meraih keselamatan.
Termasuk di antara pengertian taqwa yang sempurna ialah mengerjakan hal-hal yang diwajibkan dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan segala hal yang syubhat. Dan barangkali termasuk pula ke dalam pengertian taqwa yang sempurna ialah mengerjakan hal-hal yang dimakruhkan serta banyak hal yang disukai oleh selera hamba yang bersangkutan. Pengertian dari semua itu secara menyeluruh terkandung dalam makna firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 1-2:
الم(1)ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ(2)
“Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,”
Oleh karena itu, seorang hamba yang bertaqwa akan mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah, Karena beriman kepada Dia yang memerintahkannya dan mempercayai akan janji-Nya. Dia meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya karena beriman kepada Dia yang melarangnya dan takut kepada ancaman-Nya.
Dengan demikian pengertian taqwa itu mengandung tiga tingkatan, yaitu:
1. Menghindarkan diri dari berbagai penyebab yang dapat mengekalkan pelakunya di dalam neraka, yaitu dari kemusyrikan dan kekafiran, dengan cara mengikuti ajaran tauhid, dan kalimat tauhid inilah yang dimaksudkan dalam firman-Nya:
إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu'min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (surat Al-Fath ayat 26)
2. Menghidarkan diri dari segala hal yang mendatangkan azab di dalam neraka meskipun hanya sebentar, baik berupa dosa-dosa besar maupun dosa-dosa kecil yang sudah dikenal dalam istilah syara’
3. Hendaknya seorang hamba enggan melakukan hal-hal yang memalingkan dirinya dari Allah meskipun hal itu berupa perkara yang diperbolehkan, sebab dapat memalingkan perhatian-nya dari menempuh jalan Allah atau memperlambat perjalanannya. Dan hal ini merupakan tingkatan yang dapat diraih oleh orang-orang yang sempurna ketaqwaannya lagi mempunyai kedudukan yang tinggi, karena sesungguhnya menyibukkan diri dengan hal-hal yang diperbolehkan dapat memalingkan kalbu pelakunya dari Allah, dan adakalanya akan membuat kalbunya menjadi keras, sehingga dengan mudah ia dapat terjerumus ke dalam berbagai hal yang dimakruhkan, dan lambat laun tidak menutup kemungkinan bila pelakunya akan terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan. Inilah mata rantai yang dapat diketahui dan dirasakan sendiri oleh seseorang dalam berbagai kondisi yang dialaminya.
Sumber : https://www.facebook.com/abi.hamdi